Jubir PCO Minta Maaf atas Ucapan ‘Rakyat Jelata’ Terkait Polemik Miftah
Juru Bicara Pusat Komunikasi dan Opini (PCO) akhirnya menyampaikan permohonan maaf setelah pernyataannya yang menyebut istilah “rakyat jelata” dalam menanggapi polemik yang melibatkan figur publik, Miftah, menuai kontroversi. Ucapan tersebut memicu reaksi keras dari berbagai pihak, yang menilai pernyataan itu tidak sensitif dan merendahkan.
Kronologi Ucapan Kontroversial
Polemik bermula ketika Miftah terlibat dalam sebuah isu publik yang menjadi sorotan luas di media sosial. Dalam sebuah wawancara, Jubir PCO menyebut istilah “rakyat jelata” saat menjelaskan posisi PCO dalam merespons kritik yang datang dari masyarakat terkait masalah tersebut.
Pernyataan itu langsung memicu protes dari warganet dan beberapa tokoh masyarakat, yang menganggap istilah tersebut tidak pantas digunakan, terlebih oleh seorang pejabat yang seharusnya mewakili suara rakyat secara keseluruhan.
Permohonan Maaf Resmi
Menanggapi kritik yang terus bergulir, Jubir PCO akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi untuk meminta maaf.
“Saya menyampaikan permohonan maaf atas penggunaan istilah yang tidak tepat dalam wawancara sebelumnya. Maksud saya sama sekali tidak untuk merendahkan atau menyakiti hati masyarakat. Saya akan lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata ke depannya,” ujarnya.
Ia juga menegaskan komitmen PCO untuk terus mendengarkan aspirasi rakyat dan memperbaiki komunikasi publik agar lebih inklusif.
Reaksi Publik
Permintaan maaf tersebut disambut beragam oleh masyarakat. Sebagian pihak mengapresiasi langkah Jubir PCO yang mau mengakui kesalahannya, sementara yang lain menilai permintaan maaf tersebut belum cukup menjelaskan konteks dan niat di balik ucapan tersebut.
“Permintaan maafnya bagus, tapi harus ada tindakan nyata yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar peduli dengan rakyat,” ujar salah satu pengamat politik.
Pelajaran bagi Pejabat Publik
Kontroversi ini menjadi pengingat bagi para pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata, terutama ketika berbicara tentang masyarakat luas. Bahasa yang tidak sensitif dapat dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman dan merusak kepercayaan publik.
Polemik ini juga menunjukkan pentingnya komunikasi yang inklusif dan empatik, terutama di era media sosial, di mana setiap pernyataan dapat dengan cepat menyebar dan menimbulkan respons dari masyarakat.