“Pohon di Tengah Alun-Alun” – Cerita pendek sedih yang akan kita baca bersama ini adalah sebuah cerita pendek sedih dengan judul “Pohon di Tengah Alun-Alun”. Cerita ini menggambarkan kesedihan dan kepedihan seorang yang dalam hal ini dalam bentuk sebuah pohon yang ada di tengah-tengah Alun-Alun kota.
Kesedihan disimpan dalam masa lalu, tapi pada akhirnya perlu ditinggalkan. Dari cerita pendek sedih ini, sepertinya penulis ingin menyampaikan pesan bahwa kesedihan dan kemarahan adalah sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikenang atau diingat.
Kita tidak perlu mengenang kembali pengalaman pahit masa lalu, tapi sebaiknya kita memberikan tekad dan usaha untuk mencapai harapan yang lebih baik dalam hati kita.
Bagi pengunjung yang ingin mengikuti jalan cerita pendek sedih dalam cerpen ini, silakan langsung membacanya.
Semoga cerita pendek sedih ini bisa memberikan ide dan menyampaikan pesan yang dikehendaki.
Ia baru bisa membaca untuk pertama kalinya saat dibonceng ibunya saat bersepeda dan melihat ada sesuatu yang aneh di Alun-Alun kota. Ada sebatang pohon asam gelugur tua, bukan beringin, tumbuh di tengah-tengah Alun-Alun itu.
Meskipun beberapa cerita pendek sedih yang sering disampaikan ibunya mengatakan bahwa pohon beringin biasanya ditanam sebagai simbol pengayoman kepala wilayah bagi rakyatnya.
Cabang-cabangnya yang rindang membuat kanopi yang paling teduh. Beberapa puluh burung tekukur dan perkutut membuat sarang di antara dahan dan ranting yang rimbun.
Ia berusaha membaca nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terdengar aneh bagi lidahnya yang terlatih dengan logat kental tanah kelahirannya.
“Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ujarnya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Senang karena anak berusia 4 tahun itu sudah bisa membaca dengan cukup lancar.
Ia melihat ibunya dengan mata berbinar. Ibu tahu bahwa anaknya pasti akan bertanya tentang sesuatu. Beberapa saat kemudian, anak itu benar-benar bertanya, “Apa artinya itu, Bu?”
Ia baru tahu bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari berbagai bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Namun, ia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma karena buah pohon itu rasanya asam.
Ia juga tidak mengerti mengapa pohon asam gelugur ditanam di tengah-tengah alun-alun kotanya, bukan beringin. Padahal pohon itu tidak terlalu teduh dan cabangnya mudah patah.
Namun, ia tahu bahwa ibunya sering membuat minuman dari buah asam yang sangat enak, minumannya disebut serbat. Minuman itu segar dan nikmat diminum saat cuaca panas. Daun muda pohon itu juga bisa dibuat minuman dengan menambahkan bahan lain seperti kunyit, bisa juga sebagai obat batuk dan demam.
Oleh karena itu, ibunya sering membawa anaknya ke alun-alun untuk mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan membuka kulit kayu.
Kadang-kadang, ia melihat air mata mengalir dari mata ibunya. Kemudian, wajah yang sedih itu bisa berubah menjadi marah.
Anak itu tidak ingin bertanya karena hal itu mungkin akan menambah beban hati ibunya. Ia tidak ingin itu terjadi.
Untuk memperbaiki suasana hati ibunya, anak itu kadang mencari jangkrik di rumput di sekitar pohon besar itu. Lalu dengan senang hati, anak itu menampilkan jangkrik yang tertangkap dan berbicara tentang bagaimana ia akan mengumpulkan jangkrik untuk makan burung piaraan kakek.
Di rumah, hanya ada dia dan kakeknya. Kakeknya pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung piaraannya. Setiap hari dalam satu minggu, kakek pergi untuk mengikuti kontes burung berkicau. Ia ingin menangkap burung-burung yang bersarang di pohon tetapi burung-burung itu tidak seperti burung-burung yang ada pada sangkar-sangkar kakek.
Kakek jarang bicara dengan ibu atau dia. Ibunya pernah mengatakan bahwa kakek tidak setuju dengan kehadiran ayah yang tidak pernah kembali. Ini mungkin yang membuat ibunya sering menangis atau marah saat berada di dekat pohon asam di tengah-tengah alun-alun.
Hari ini, hari pernikahannya, ia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya. “Bu, dulu saat saya kecil, Ibu sering membawa saya ke alun-alun untuk mengumpulkan daun asam dan kadang-kadang mengerat kulit kayu. Apakah Ibu ingat itu?” Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya. “Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?”
Dengan napas berat, ia akhirnya bertanya hal yang selama ini ditanyakan. “Mengapa Ibu selalu menangis dan marah saat kita ke sana? Apa masa lalu Ibu taruh di sana?”
Sejak ibunya tidak pernah menerangkan apa yang terjadi di antara ibunya dan pohon asam gelugur di tengah-tengah alun-alun, ia tidak pernah menanyakannya lagi. Namun, pada suatu reuni dengan teman sekolahnya, ia bertemu dengan Karman yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris Wilayah.
Ia terkejut dengan pengaturan alun-alun kota dan mendapatkan informasi bahwa pohon asam gelugur sudah ditebang dan digantikan dengan tugu berwujud lancip yang mewakili tekad dan perjuangan untuk meraih harapan yang lebih baik.
“Oh. Pohon asam itu sebagian besar menyimpan kenangan pahit,” kata Karman saat ia bertanya mengapa pohon itu ditebang.
“Apa benar ceritanya hingga masyarakat kota tidak ingin pohon itu berada di tengah alun-alun?” Ia ingin mengatasi rasa penasaran yang sudah lama membekas.
“Kau tahu tentang hukuman picis, kan? Seseorang yang terbukti bersalah akan disayat kulitnya dan dicairkan dengan cairan dari buah asam.
Dahulu, pohon itu menjadi terkenal karena seorang pencuri besar menemukan ajalnya disana. Ia ditangkap dan dalam jumlah besar masyarakat menghukumnya.
Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiraminya dengan cairan buah asam. Ia meninggal dengan tubuh hampir seluruh kulitnya terkupas.
“Siapa nama pencuri besar itu?”
“Beberapa orang mengatakan namanya adalah Man Jaha.”
Mendengar nama itu, ia mengerti mengapa kakeknya tidak pernah ingin berbicara dengan ibu dan dia.
Lebih lanjut, ia juga bisa merasakan kesedihan dan marah yang sama dengan ibunya saat ingat pohon asam di tengah alun-alun. Untungnya, sekarang pohon asam itu tidak ada. (Jakarta, September 2011)
Cerpen yang mengharukan tentang kehidupan bisa membuat kita menangis. Apalagi jika kita membacanya dengan perasaan yang dalam. Cerpen berjudul “pohon itu” adalah salah satu karya yang dapat menemani kita meredakan luka.
Tentu kita tidak berharap cerita pendek sedih tentang kehidupan itu terjadi pada diri kita atau orang lain. Ya, mudah-mudahan kita bisa mendapat pelajaran yang berharga dari pesan yang ingin disampaikan penulis.